Palangka Raya – Ketidakhadiran Sanggar Seni dan Budaya Dayak Ranu Mareh dari Kabupaten Barito Selatan pada ajang Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2025 di Palangka Raya memunculkan pertanyaan publik. Namun berdasarkan konfirmasi langsung dan hasil penelusuran terhadap dokumen resmi, absennya sanggar tersebut ternyata dipicu oleh sejumlah persoalan teknis dan administratif yang kini telah diklarifikasi secara terang benderang, Sabtu (17/5/2025).
Penjelasan Sanggar Ranu Mareh: Tuntutan Biaya Tinggi dan Tak Ada Tanggapan
Dalam sebuah pemberitaan media lokal Kalteng, Ketua Yayasan Sanggar Budaya Dayak Ranu Mareh, Rustamaji Kutus, menjelaskan bahwa pihaknya tidak hadir karena tidak ada tanggapan dari pihak Dinas Disporabudporapar Kabupaten Barito Selatan terhadap surat balasan mereka yang berisi kesediaan tampil dengan catatan sejumlah kebutuhan logistik dan dana ditanggung oleh pemerintah daerah.
Beberapa fakta ditemukan oleh Tim Investigasi Info X Jurnalisme data bahwa Surat balasan tersebut dikirim tertanggal 4 Mei 2025, dengan rincian kebutuhan mencapai total Rp 88,2 juta, ditambah permintaan konsumsi dan akomodasi selama 3 hari untuk 30 orang personel di Palangka Raya. Rincian itu termasuk:
• Pembuatan properti karnaval (gerobak, kostum adat, pelaminan),
• Uang saku untuk penampil (hingga Rp 1 juta per orang),
• Biaya makan, transportasi, hingga make up.
Dalam sebuah pemberitaan tersebut menjelaskan bahwa Kutus menyebut keputusan tersebut hasil musyawarah internal, dan ia tidak dapat memutuskan secara sepihak tanpa persetujuan anggota sanggar. Ia juga menegaskan, “Jangan sampai nama kami dimasukkan dalam laporan pertanggungjawaban (SPJ) karena kami tidak ikut.”
Temuan Fakta: Permintaan Dana yang Tidak Proporsional
Dari hasil investigasi dokumen, permintaan anggaran Sanggar Ranu Mareh jauh melebihi standar rata-rata sanggar lain yang juga ikut FBIM 2025.
Sebagai perbandingan, Sanggar Seni MAR-MAS dari Desa Ugang Sayu yang juga berasal dari Kabupaten Barito Selatan, hanya mengajukan anggaran sebesar Rp 17,2 juta, termasuk biaya sewa mobil, pakaian tari, alat musik, make-up, dan uang saku.
Perbedaan signifikan ini menimbulkan pertanyaan wajar terkait proporsionalitas dan efisiensi penggunaan anggaran publik dalam sebuah kegiatan budaya daerah.
Hal yang dianggap Kurang Wajar:
1. Permintaan Anggaran Tidak Proporsional
• Anggaran Rp 88,2 juta hampir lima kali lipat dari sanggar lain seperti MAR-MAS (yang hanya Rp 17,2 juta).
• Banyak item seperti uang saku Rp 750.000–1 juta/orang, makeup Rp 9 juta, sewa sound system Rp 2,5 juta, bisa dibilang tidak efisien untuk skala festival daerah.
2. Tidak Ada Alternatif Skema
• Mereka mengajukan dalam format “semua atau tidak sama sekali”, tanpa menyodorkan opsi minimal atau fleksibel.
• Di sinilah kesan kurang kompromi muncul.
3. Tidak Ada Konfirmasi Final Namun Sudah Mundur
• Mereka menyebut tidak ada surat balasan sebagai alasan mundur, padahal belum tentu itu bentuk penolakan.
Permintaan Rp 88,2 juta dari Sanggar Ranu Mareh dinilai berlebihan untuk kegiatan skala provinsi, meski niatnya baik untuk tampil profesional. Idealnya, mereka bisa mengajukan proposal bertahap atau opsional (misal versi minimal dan versi maksimal), agar pemerintah bisa mempertimbangkan dengan lebih fleksibel.
• Ranu Mareh perlu membuka ruang negosiasi dan memahami keterbatasan anggaran daerah.
• Pemda juga sebaiknya transparan menjelaskan plafon anggaran untuk tiap sanggar agar ekspektasi realistis.
Jika niatnya memang untuk pelestarian budaya, nilai seni tak selalu ditentukan oleh mahalnya properti — yang lebih penting adalah semangat dan esensi budaya yang disampaikan.
Kepala Dinas Disporabudporapar Bersikap Tegas
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Disporabudporapar Kabupaten Barito Selatan, Dr. Manat Simanjuntak, M.Pd, menyatakan bahwa pihaknya fokus memberikan kesempatan tampil kepada sanggar dari kecamatan Gunung Bintang Awai dan Dusun Utara, yang menunjukkan antusiasme tinggi dan semangat gotong royong tanpa menuntut berlebihan.
“Semangat anak-anak muda yang terlibat luar biasa. Ini jadi bukti bahwa pelestarian budaya tidak harus mahal, tapi cukup dengan niat tulus dan kerja sama. Tahun depan, giliran Karau Kuala, Dusun Hilir, dan Jenamas yang kami prioritaskan agar semua wilayah punya kesempatan mengangkat budayanya,” ujar Manat.
Ia juga menekankan bahwa seluruh peserta dari Barito Selatan yang tampil telah menjalani pemusatan latihan dan siap memberikan yang terbaik di ajang festival budaya terbesar di Kalimantan Tengah tersebut.
Budaya Adalah Warisan, Bukan Proyek
Festival Budaya Isen Mulang bukan hanya ajang tampil, tapi sarana menjaga dan merawat identitas daerah. Dalam konteks itu, pengelolaan anggaran dan partisipasi publik harus dilakukan secara proporsional dan bertanggung jawab.
Ketidakhadiran Sanggar Ranu Mareh adalah keputusan internal mereka, namun pemerintah daerah tetap membuka kesempatan yang adil dan bergiliran bagi seluruh wilayah di Barito Selatan untuk tampil di tahun-tahun mendatang.
Partisipasi aktif masyarakat, terutama kalangan muda, dalam festival ini tetap menjadi sorotan positif — membuktikan bahwa cinta budaya tidak selalu datang dari anggaran besar, tapi dari semangat, dedikasi, dan kebanggaan atas identitas lokal.
Tim Investigasi Info X Jurnalisme Data Melaporkan; (*)