Jakarta — Dua tokoh muda Indonesia, Timothy Ronald, investor teknologi dan Kripto, serta Riyon J. Luchzarimo, inovator di bidang teknologi dan sosial, menyuarakan kritik tajam terhadap arah pembangunan Indonesia yang dinilai semakin menjauh dari prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis. Ditengah kasus eksploitasi alam di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang kini menghadapi ancaman serius akibat ekspansi industri tambang nikel yang sedang ramai diperbincangkan publik, Jumat (6/6/2025).


Dalam sebuah podcast yang viral di kalangan pegiat startup dan teknologi, Timothy menyampaikan pernyataan yang langsung menggugah kesadaran publik:


“Negara dengan SDM rendah seperti negara kita itu jadinya ekstraktif. Cuma bisa ngerauk sumber daya, bukan menciptakan nilai. Seperti Amerika yang bisa bikin NVIDIA, Google, Meta. Kita? Konglomeratnya dari batubara, infrastruktur—semuanya ekstraksi.” Ungkap Timothy.


Pernyataan ini menjadi sorotan karena menggambarkan realitas pembangunan nasional yang terlalu bergantung pada sumber daya alam tanpa transformasi berbasis inovasi dan SDM unggul. Menurut Timothy, pola ini bukan hanya tidak berkelanjutan, tetapi juga menutup potensi Indonesia untuk menjadi pemain global dalam ekonomi berbasis pengetahuan.


Riyon: “Kemajuan Tanpa Nurani Adalah Ancaman”


Sikap senada disampaikan oleh Riyon J. Luchzarimo melalui platform Web3 Paragraph (Riyonjl), merespons maraknya aktivitas tambang nikel di kawasan konservasi Raja Ampat. Dalam pernyataan resminya, Riyon menyebutkan bahwa kerusakan ekologis bukan sekadar isu teknis, melainkan cerminan dari krisis etika dalam pembangunan.


“Ketika teknologi digunakan untuk mempercepat eksploitasi, bukan untuk perlindungan dan transparansi, maka kita sedang menciptakan kemajuan tanpa nurani,” tegasnya.


Riyon, yang juga salah satu pendiri EXC-Net Group dan pendiri Info X Indonesia, menilai bahwa pembangunan yang abai terhadap lingkungan dan komunitas adat akan menimbulkan kerugian jangka panjang yang tidak bisa dipulihkan.


Tambang Nikel dan Penolakan Masyarakat Adat


Raja Ampat—yang selama ini dikenal sebagai surga biodiversitas laut dunia—terancam oleh aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan PT Mulia Raymon Perkasa. Meski telah mendapat izin eksplorasi, perusahaan ini menghadapi penolakan keras dari masyarakat adat Suku Betew dan Maya.


Kehadiran tambang di kawasan konservasi ini tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga tatanan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat lokal yang telah menjaga wilayah tersebut selama turun-temurun.


Seruan Etika dan Teknologi Berkeadilan


Riyon menyerukan kepada komunitas teknologi, akademisi, dan generasi muda untuk terlibat aktif dalam memperjuangkan keadilan ekologis, bukan hanya fokus pada inovasi yang menguntungkan pasar.


“Teknologi tidak boleh menjadi alat legitimasi kerusakan. Kita perlu sistem yang berpihak pada kehidupan, bukan sekadar pada manusia apalagi kapital,” ujarnya


Ia juga menekankan bahwa sistem digital dan algoritma—jika dibiarkan tanpa prinsip transparansi dan etika—berpotensi memperkuat ketimpangan dan mempercepat kerusakan lingkungan.


Masa Depan: Antara Kesadaran dan Keberanian


Timothy dan Riyon sama-sama menekankan bahwa masa depan Indonesia tidak bisa dibangun hanya dengan mengeksploitasi kekayaan alam, tetapi harus didorong oleh penguatan SDM, inovasi berkelanjutan, dan keberanian moral dalam mengambil keputusan.


“Raja Ampat bukan wilayah kosong. Ia adalah rumah, sejarah, dan masa depan. Dan masa depan itu bukan untuk ditambang, tapi untuk dijaga,” tutup Riyon.


Tim Investigasi Info X Melaporkan;(*)